Kamis, 10 Oktober 2013

Suntung -- di adaptasi dari cerita Suntung milik Fajri Azhari

Aku belum pernah sekalipun bertemu dengan pemuda sepertinya. Tatapan matanya begitu tajam  namun kosong. Dengan tatapan setajam itu hampir dipastikan setiap orang tak akan berani menatapnya lamat lamat. Apalagi dia memiliki postur tubuh yang tinggi dan berisi. Di tambah lagi dengan hiasan tatto berlambang X di lengan kirinya. Rambutnya gondrong dan tak terurus. Sempurnalah dia dengan kegarangan yang tersirat dari penampilan fisiknya. 

Dia adalah pemuda yang sangat biasa dan mungkin tak seorangpun berniat mengusik hidupnya atau sekedar bertegur sapa dengannya. Bukan hanya karena penampilan fisiknya yang menakutkan tapi karena dia bukanlah sosok istimewa yang “layak” di bicarakan banyak orang. Terlebih bagi orang orang di kampungnya. Siapalah dia yang kabarnya menarik untuk diperbincangkan? dia teramat biasa sebagai seorang pemuda.  Tidak tampan, tidak kaya, tidak punya apa apa selain sebatas apa yang melekat pada tubuhnya saat itu. 

Belakangan ku tau namanya adalah Suntung. Pemuda dari desa sebrang yang sibuk dengan dunianya sendiri. Aku mengenalnya karena saat itu, saat aku sendang sibuk memancing. Suntung datang dengan wajah teduh dan tatapan kosongnya. Berjalan sambil menunduk. Tidak di hiraukannya semak semak yang menghalangi jalan menuju tempat pemancingan. Dia tetap berjalan dengan tubuh gontai seperti habis mabuk dan masih dalam tatapan kosongnya. 

Dibawanya seperangkat alat memancing. Kemudian dia mulai memasangkan umpan pada mata kail pancing buatannya. Pancing yang ia gunakan terbuat dari bambu. Pancing sederhana yang selalu menemaninya memancing. Dan umpan yang ia gunakan bukanlah umpan yang seharusnya. Cukup dengan gumpalan kecil lumut hijau sebagai umpan pamungkas.

Awalnya aku tidak begitu menghiraukan kedatangan Suntung di tempat pemancingan haji Salman. Aku tengah asik menata mimpi mimpiku lewat lamunan, lalu sejenak lamunanku buyar. Aku kaget ! pancinganku bergerak dan sepertinya umpan ku telah dimakan mangsa. Segera ku tarik pancinganku itu cepat cepat. Dan.....................kecewa! bukan ikan yang ku dapatkan. Ternyata mata kailku tersangkut oleh kail milik Suntung. Sesaat tatapan kami sejurus lalu kemudian dia buru buru mengalihkan tatapannya.

Dari sanalah aku mulai tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Ada banyak tanya yang memenuhi kepalaku saat aku kembali menatap Suntung dari arah berlawanan. Suntung tepat berada di hadapanku yang hanya di pisahkan oleh empang kecil milik Haji Salman. Aku jadi penasaran apa yang membuat pemuda bertatto X itu begitu datar. Menatap kosong apapun yang di hadapannya. Tanpa ekspresi. Tanpa senyum, apalagi sapa. Tanpa banyak bicara.

Aku tahu, pasti ada sesuatu yang membuat Suntung seperti itu. Suntung yang malang. Pemuda dari desa sebrang yang sangat di segani banyak orang, bahkan oleh Haji Salman sekalipun. Tapi sebelumnya aku tak pernah tahu kalau yang berada di hadapanku ini adalah pemuda yang dulu sangat disegani itu. Pemuda yang di sayangi orang banyak. Entah kemana semua pesonanya kini? Yang tersisa darinya hanya sirat kemalangan. Tiada lagi sapa para tetangga pun termasuk sanak famili. Terbuang. Terabai. Itulah Suntung kini.

Masih dengan sejuta tanya , aku memberanikan diri mengikutinya dari belakang sampai tibalah ia di sebuah gubuk yang hampir rubuh. Atapnya hanya dari beberapa helai jerami dan daun kelapa kering yang disusun berjejer rapih. Biliknya terbuat dari bambu dengan di balut koran dan  majalah sisa. Tak perlu ku jelaskan lagi tentang kondisi rumah ini, yang kalau di Jakarta sudah tak akan di huni manusia. Ini lebih layak dikatakan seperti “kandang” daripada tempat tinggal. 

Miris. Apa tinggal di tempat seperti ini mampu membuatnya merasa nyaman ? di ruang yang berukuran tidak lebih dari 3 x 4 meter ini. Saat aku masih terpaku memperhatikan seluruh sudut di ruang ini, Suntung keluar dan masih dengan tatapan tajam nan kosongnya dia melewatiku tanpa sepatah katapun. Bagaimana mungkin dia bisa seacuh itu terhadap tamu yang berdiri mematung di hadapannya seperti ku ini?

Ahh Suntung, itulah mengapa aku begitu tertarik denganmu. Mengenalmu lebih jauh lagi . Entah magnet apa yang sudah kau lepaskan ini hingga aku semakin tertarik mengenalmu dari sisi mu. Mengenalmu tak hanya dari sudut ku sendiri atau banyaknya cerita orang di luaran sana. 

Saat pagi kembali menyapa bayangan Suntung masih dengan tatapan tajam nan kosongnya kembali hadir. Kali ini dengan sedikit senyuman. Suntung tersenyum padaku ? apa mungkin selama ini dia tau bahwa aku begitu terpikat dengannya. Begitu tertarik memaksa masuk dalam masa lalunya. Dan senyumnya begitu hangat, sangat bersahabat. Tidak seperti aslinya yang terlihat kasar dan menatappun rasanya enggan.

Oia, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Aden, Ahmad Denya (Aden its mean A(hmad) den (Denya) bukan De-nya tapi Den-Ya. Nama ini ku dapat sejak lahir dari kedua orang tuaku. Entah apa arti dari kata Den-Ya. Yang pasti nama itu selalu memberiku kebanggaan tersendiri walau terdengar agak aneh. Selalu ada suntikan penyemangat ketika orang memanggilku dengan nama itu..Den-Ya, rasanya seperti jadi orang paling beken seantero ..hehehe.

Sejak berstatus sebagai pelajar berseragam putih abu abu. Aku mulai gemar menyendiri. Memperhatikan banyak hal dan tentu saja itu termasuk Suntung, pemuda yang membuatku begitu tertarik mengetahui kisah dibalik sikap dan prilakunya kini. Aku tau betul bahwa orang orang sepertinya adalah orang orang special yang di takdirkanTuhan untuk ku . untuk kami yang haus akan misteri kehidupan. Dan asal kalian tau, sebenarnya tidak ada  yang tersia di muka bumi ini. Semua terjadi dengan makna . membawa pesan, hanya saja kita sering tak memahami makna di balik tiap kejadian. Lagi lagi inipun termasuk tentang Suntung.

Aku anak pertama dan satu satunya di keluarga ku.


--to be continued

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar